Latest Entries »

Sabtu, 24 April 2010

Dibalik lirik lagu Iwan Fals

Pernah dengar gak lagu lama ciptaan bang Iwan, yang penggalannya liriknya seperti ini

" Terhimpit gelak tertawa di sela meriah pesta...Seribu gembel ikut menari, seribu gembel terus bernyanyi..."

Sebuah kiasan yang diungkapkan bang Iwan sang maestro sejati dalam bait lagunya ini menggambarkan adanya celah sosial yang ada di masyarakat kita. Yang kaya yang menyelenggarakan pesta, hura-hura menghabiskan hartanya, tetapi kita tidak pernah tahu dari mana dia dapatkan kekayaan yang tak wajar itu,mungkin korupsi, jadi makelar kasus, dan nepotisme atau lain sebagainya. Sementara itu, banyak sekali kaum yang terbilang miskin. Di jalan-jalan, di trotoar, di jembatan penyeberangan, bahkan di pinggiran mall kita bisa melihat para gelandangan, pengemis, orang tua dan anak-anak yang seharusnya masuk sekolah untuk mengenyam pendidikan, dipaksa mencari uang receh untuk sesuap nasi.

Tetapi apa yang dilakukan para orang mampu, orang ekonomi atas, orang pemerintahan yang sudah banyak makan kenikmatan negeri ini ? Dalam bait ini digambarkan oleh bang Iwan, mereka sendang berpesta pora, menghamburkan uang demi kepuasan yang hanya bersifat sementara. Nyanyian para gembel, pemulung, orang miskin tidak pernah didengar oleh mereka. Nyanyian mereka bukanlah musik yang enak didengar, tetapi tuntutan kepada pemerintah, penguasa negeri ini untuk memberikan sedikit perhatian kepada mereka. Tidak banyak, hanya sedikit perhatian. Hasilnya ? belum ada, bahkan nyaris tidak ada.

Lanjut dalam bait lagunya...

"...keras melebihi lagu tuk berdansa...keras melebihi legar halilintar, yang ganas menyambar."

Keras, itulah ungkapan yang disampaikan oleh bang Iwan. Keras suara, keras usaha mereka untuk ikut menikmati kekayaan negeri ini. Tetapi mendapat nihil perhatian, hanya mendapat cemooh dari orang beruang. Tidak pernah ada yang memberikan penghargaan kepada tukang becak yang telah melestarikan alat transportasi tradisional di negeri ini. Tidak pernah ada yang memberikan sedikit apresiasi kepada pasukan kuning yang tanpa mereka, jalan raya akan terasa tampak kumuh dan kotor. Tidak ada yang pernah memberikan fasilitas memadai kepada para penjual kaki lima yang menjajakan jajanannya di tepi kota sehingga bisa dinikmati pelanggannya, yang tanpa mereka tidak ada kuliner di negeri ini. Kenapa hal ini sangat miris di negeri ini ? padahal...

"Kuyakin pasti terlihat, dansa mereka begitu dekat...kuyakin pasti terdengar, nyanyi mereka yang hingar bingar"
"Seolah kita tidak mau mengerti...seolah kita tidak pernah peduli...pura buta dan pura tuli"

Ya, mereka sebenarnya begitu dekat dengan kita...dimana ? kita tidak tahu, karena kita sudah menutup rapat rapat mata dan telinga kita. Kita hanya mengurusi kepentingan kita sendiri, hidup kita sendiri, tanpa memperhatikan hak-hak yang pantas mereka dapatkan. Coba kita perhatikan di tengah-tengah jantung kota Jakarta yang khas dengan kemegahan gedung-gedung tingginya, kemewahan bangunannya, tapi coba kita tengok di tengah-tengah bangunan tinggi dan apartemen mewah itu, ada perkampungan kumuh, perkampungan yang tidak layak untuk disinggahi, mandi di kali, membuang hajat di kali, suatu tempat yang tidak layak untuk kesehatan penghuninya. Tingginya angka kematian karena kondisi lingkungan yang tidak sehat itu membuat mereka ingin berontak, mereka iri dengan orang-orang yang berada di atas mereka, yang membuang mereka, dan hanya memanfaatkan mereka jika diperlukan saja, jika ada pemilu saja meraka diorangkan, hanya pada saat pilkada saja mereka diperhatikan, setelah itu ? dilirik pun tidak...omong kosong dengan semua itu...

"Terkurung gedung gedung tinggi...wajah murung yang hampir mati"
"Biarkan mereka iri...wajar bila mencaci maki"

Biarkan...biarkanlah mereka iri, karena mereka pantas iri, pantas untuk mendapatkan hak yang sama dengan orang lain. Mana suaramu wahai pemimpin negeri ini ? Air mata adalah sungai di surga, kegelisahan dan kesedihan mereka ada nyanyian sorga, tetapi siapa yang peduli ?

"Nafas terasa sesak, bagai terkena asma...Langkah pelan berdegug, jantung keras berdetak..."
"Setiap detik sepertinya hitam...hitam...hitam..."

Ya, kondisi inilah yang sekarang terjadi. Konsisi semakin memburuk, banyaknya kriminalitas dari mereka yang ingin mendapat perhatian dan ingin mendapatkan hak yang sama untuk mengenyam kehidupan di negeri ini. Semakin hari semakin memburuk, dan semakin hari tidak ada yang peduli kepada mereka. Yang telah mereka lakukan hanyalah kicauan belaka, hanya ingin memanfaatkan keadaan, dan membuang setelah manisnya hilang. Dimana engkau wahai pemimpin negeri ini ?

"Tak sanggup aku melihat lukamu kawan dicumbu lalat"
"Tak kuat aku mendengar jeritmu kawan melebihi dentum meriam"

Coba kita tengok mereka, kita tengok kawan kita di sana? sudah layakkah mereka ? belum...bahkan tidak ada harapan untuk menjadi lebih baik. Semua semakin memburuk. Derita mereka seolah tanpa henti, tanpa akhir. Lontaran kata-kata mereka kepada pemimpin hanya dianggap angin lalu, tiupan lemah tanpa daya.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan ?

"Mari kita hentikan dansa mereka...dengan memberi pijar matahari..."

Kami tidak butuh belas kasihan, kami hanya butuh bukti konkrit yang bisa menyelamatkan kami dan keluarga kami. Kami di sini juga punya hak untuk hidup, punya hak untuk makan, punya hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Jangan kau pejamkan matamu, wahai pemimpin negeri ini, lihatlah luka kami ini...Jangan kau sumpal telingamu wahai para wakil rakyat, dengarlah keluh kesah kami ini...Tuhan sadarkanlah negeri ini...Bangkitlah Indonesia...Bangkitlah...


Salam Kebangkitan
Ony Saputra

0 komentar:

Posting Komentar